ilustrasi : http://herukun.com |
Pemerintah
akhirnya menaikkan harga BBM Subsidi sebesar Rp2.000,-. Seperti halnya
kebijakan kenaikan BBM yang lalu-lalu, respon masyarakat selalu beragam. Ada
yang pro, dan tentu lebih banyak yang kontra. Aksi demonstrasi pun tak
terelakkan. Seantero nusantara, di berbagai kota, melakukan protes. Salah
satunya, melalui aksi demonstrasi.
Di beberapa
jejaring sosial, saya membaca postingan-postingan yang konon sebuah instruksi
yang ber-signature ketua Umum DPP IMM, Beni Pramula. Entah benar atau tidak,
postingan tersebut berisi instruksi agar IMM seluruh pelosok negeri, mulai
melakukan kajian intensif dan lekas turun ke jalan untuk menolak kenaikan harga
BBM. Bahkan ada penegasan : TOLAK atau REVOLUSI, dengan tambahan kalimat provokatif
seperti : Jokowi penuh kebohongan.
Pertama. Kita
menolak kenaikan BBM jika alasannya adalah subsidi. Pasalnya, pengguna BBM
Subsidi (Premium dan Solar subsidi) adalah kendaraan roda empat. Bukan motor.
Sementara pemilik kendaraan roda empat, rata-rata adalah orang menengah ke
atas.
Pemerintah
menilai, subsidi BBM terlalu tinggi dan rata-rata dinikmati oleh orang-orang
kaya (pemilik kendaraan roda empat). Maka subsidi harus dikurangi, dan
dampaknya, harga premium dan solar pun naik. Tahun ini, nilai subsidi BBM
sebesar 199,8 Triliun.[1]
Padahal bisa
saja pemerintah membuat regulasi, seperti halnya aturan yang melarang kendaraan
berplat merah menggunakan BBM Subsidi. Aturan kemudian diperluas. Tidak hanya
kendaraan berplat merah saja yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi, tapi
mobil pribadi juga. Kalau mobil pribadi tersebut berbahan bakar bensin, maka
diwajibkan menggunakan pertamax. Kalau berbahan bakar solar, maka wajib membeli
solar non subsidi.
Premium dan
solar subsidi, hanya dipergunakan untuk kendaraan bermotor atau angkutan umum.
Alasannya, motor tidak terlalu banyak menggunakan bahan bakar. Satu motor,
diisi 3-4 liter saja sudah cukup. Sementara angkutan umum, adalah transportasi
massal. Kalau mobil pribadi, tentu menggunakan banyak BBM. Kalau mobil itu
menggunakan BBM subsidi, jadi pemerintah “bayar” dia lebih mahal. Padahal,
pemilik mobil adalah orang kaya, atau minimal menengah ke atas.[2]
Jadi,
Pemerintah bisa mengurangi subsidi BBM, namun disatu sisi tidak memberatkan
masyarakat menengah ke bawah, terutama pengguna motor atau pengguna angkutan
umum. Biarlah orang-orang kaya yang membayar lebih untuk kebutuhan mereka
sendiri. Tidak perlu harga naik.
Jika BBM
Subsidi dinaikkan seperti ini, tanpa regulasi diatas, maka tetap saja. Subsidi
(meskipun telah dikurangi) akan tetap dinikmati oleh para pemilik kendaraan
roda empat, dan rakyat kecil akan semakin sengsara karena harus membayar lebih
untuk biaya transportasi dan imbas kebutuhan pokok lainnya.
Sebagai negara
yang menganut asas keadilan sosial, harusnya Pemerintah tahu bagaimana membuat
regulasi yang adil. Yang kaya biarlah membayar lebih, karena secara ekonomi
ada. Yang miskin tetap di-subsidi, sembari pemerintah membuat beberapa program
kesejahteraan sosial melalui kartu-kartu itu atau pembukaan lapangan kerja.
Adil tidak harus sama rata.
Kedua, kita
mendukung kenaikan BBM dengan catatan. Subsidi benar-benar dialihkan pada
sektor-sektor produktif atau dialihkan untuk memperbesar subsidi lain. Misalkan
pupuk untuk pertanian.
Selama ini,
masyarakat lebih enjoy menggunakan kendaraan pribadi (mobil dan motor) karena
transportasi umum dinilai kurang nyaman. Terutama, infrastruktur belum terlalu
memadahi. Selain itu, daya beli masyarakat terhadap kendaraan juga meningkat,
terlebih setelah pemerintah meluncurkan mobil murah.
Menurut BPS
(Badan Pusat Statistik) Nasional, jumlah kendaraan baru, terutama mobil,
membengkak dari 9.546.866 unit ke 10.432.259 (2012) sementara motor lebih
besar, dari 68.839.341 unit ke 76.381.183 unit (2012) data terbaru mungkin
lebih tinggi, namun BPS belum merilisnya.[3]
Akhirnya,
semakin banyaknya kendaraan akan berkorelasi dengan kebutuhan BBM. Mau tidak
mau, Pemerintah harus menambah pasokan BBM dan subsidi pun dari tahun ke tahun
kian membengkak. Selama ini, untuk mengantisipasi ledakan subsidi, pemerintah
mengurangi subsidi. Meskipun subsidi akan terus naik, kalau jumlah kendaraan
juga semakin bertambah.
Jika
pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk hal-hal produktif, misalkan membangun
infrastuktur atau subsidi pertanian. Maka harus benar-benar tegas. Misalkan
untuk pembangunan jalan, membuka space untuk pejalan kaki dan pe-sepeda. Atau
pengadaan transportasi massal yang murah dan memadahi. Sehingga masyarakat
lebih enjoy menggunakan kendaraan umum.[4]
Selanjutnya
subsidi dialihkan untuk mengembangkan pertanian. Selama ini, petani banyak
mengeluh tentang mahalnya biaya produksi, beserta ketersediaan pupuk. Akhirnya,
produksi nasional melemah dan pemerintah harus impor beras, gula, ketela,
garam, dll. Infrastruktur pertanian lain misalkan penyediaan sumber air, baik
sumur maupun bendungan untuk pengairan sawah dan kebun.[5]
Kalau harga
pupuk terjangkau, dan infrastruktur pertanian terpenuhi. Maka petani kita akan
produktif. Persediaan pangan tersedia, dan harga kebutuhan pokok stabil.
Sebenarnya, yang ditakutkan oleh masyarakat tentang naiknya BBM bukan harga BBM
itu sendiri, melainkan imbasnya berupa naiknya harga kebutuhan pokok lainnya.
IMM
tak perlu demo
IMM tak perlu
terburu-buru melakukan aksi demonstrasi, namun ada baiknya dikaji lebih detail
dan harus memberikan beberapa solusi – sikap solutif. Karena kenaikan BBM ini
adalah moment politik untuk menyerang Jokowi-JK, terutama bagi kekuatan politik
yang mayoritas tersebut. IMM jangan sampai terkubang dalam kepentingan
pragmatis itu. kenapa?
Pertama,
menaikkan BBM bukan kebijakan yang populer. Kalau membuat idealifikasi tentang
sosok Jokowi yang rajin pencitraan, tentu seharusnya Jokowi tak menaikkan harga
BBM. Karena akan menurunkan citranya, dan membuat dia dihujat. Terlebih,
kebijakan ini diambil saat Kabinetnya baru berjalan 3 minggu-an.
Kedua,
kenaikan BBM ini masih masuk dalam batas argumentatif. Masih bisa di
diskusikan, bahkan diperdebatkan secara ilmiah. Baik yang pro maupun yang
kontra. Alasan pemerintah re-alokasi subsidi BBM pun juga masih cukup rasional,
misalkan dengan pengalihan ke sektor produktif seperti infrastruktur dan
pertanian.
Jika IMM
memilih jalan demonstrasi yang bersifat anarkis, maka akan memunculkan friksi
sosial di Masyarakat. Dampaknya akan lebih mengerikan daripada kenaikan BBM itu
sendiri. Karena bisa berujung pada krisis sosial. Karena jumlah kader IMM
se-antero negeri tidak sedikit. Mungkin jutaan.
Untuk itu,
jika harus menolak. Maka ajukan secara argumentatif dan ilmiah. Jika bersikap
netral, dan membiarkan BBM naik dengan alasan yang diajukan pemerintah, maka
tugas IMM kedepan adalah mengawal re-alokasi anggaran tersebut. Benarkan untuk
pembenahan infrastruktur dan pertanian?
Karena ini
kebijakan pemerintah pusat, maka DPP IMM, daripada membuat statement yang
provokatif dan agitatif di media massa, seperti “Kabinet Jokowi penuh
kebohongan” dll. Alangkah baiknya untuk melakukan kajian intensif. Kalau perlu
membuat sikap tertulis dengan dibarengi solusi jangka panjang.
Kalau menolak
paparkan alasannya. Kalau mendukung paparkan juga alasannya. Tidak melalui
surat instruksi seperti itu. Hal ini agar IMM di daerah, cabang hingga
komisariat, memahami sikap DPP IMM secara utuh. Logis-rasional dan sistematis.
Setelah itu,
DPP IMM membuat forum mediasi dengan pemerintah pusat dan menawarkan sikap
tertulis itu beserta solusinya. Jika pemerintah pusat tak menanggapi atau
bahkan mengacuhkan, maka demonstrasi adalah jalan yang baik untuk menyuarakan
aspirasi.
Jika DPP IMM
punya jejaring untuk internasionalisasi gerakan, dan sudah sering keluar
negeri. Maka kalau hanya ke istana negara tentu sangat mudah. Kecuali jika ada
interest politik tertentu. Saya tidak mau berprasangka, dan saya harap memang
tidak ada. IMM tetap seperti halnya Muhammadiyah, tidak mendukung poros politik
tertentu. Tetap kritis dan solutif.
Begitupun yang
di daerah, cabang, hingga komisariat. Tak perlu terburu-buru untuk demonstrasi.
Apalagi, ini adalah era penuh keterbukaan. Banyak cara menyuarakan aspirasi.
Salah satunya dengan menemui pemerintah pusat, mediasi, atau menulis di media
massa. Kalau tujuannya untuk didengar.
Demonstrasi,
dan cara-cara represif lainnya, adalah langkah akhir ketika aspirasi sangat
susah disuarakan. Misalkan era orde baru. Ketika politik dikuasahi oleh
kekuatan tertentu, dan rakyat tak memilih sendiri pemimpinnya. Di lain hal,
media dibungkam, dan orang kritis di cekal.
Sementara
Jokowi-JK adalah pemimpin yang dipilih oleh mayoritas masyarakat, bukan
parlemen, atau kekuatan politik tertentu. Sementara komunikasi masih sangat
terbuka, baik melalui media massa atau mediasi langsung dengan penguasa. Hari
ini, tidak gampang menjatuhkan presiden yang dipilih secara demokratis, melalui
pemilu langsung. Berbeda dengan rezim Soeharto yang otoriter dan bertangan besi
tersebut.
Demonstrasi
sah-sah saja, asal bukan sebatas euforia. Karena tak sedikit demonstrasi yang
hanya berujung pada kericuhan, atau ajang peneguhan eksistensi. Justru membuat
masyarakat jengah dan semakin apriori terhadap gerakan mahasiswa.
Semoga IMM
bisa menentukan sikap dengan bijak.
18
November 2014
A
Fahrizal Aziz
Mantan
Kabid RPK PC IMM Malang
[1] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/25/1857475/Anggaran.Subsidi.BBM.2014.Masih.Besar
[2] http://www.bphmigas.go.id/new/berita/dinikmati-94-orang-kaya-subsidi-bbm-sebaiknya-dihapus/
[3] http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=12
[4] http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/11/141117_bbm_subsidi
[5] http://www.tempo.co/read/news/2014/11/04/090619559/Jokowi-Subsidi-BBM-Dialihkan-ke-Pertanian
Posting Komentar