Beberapa hari yang lalu kebetulan saya mudik ketanah
kelahiran saya di Pamekasan Madura, perjalanan yang biasa saya tempuh dengan
motor kali ini saya tempuh dengan bus. Sejenak terasa biasa saja ketika
perjalanan bus ekonomi berangkat dariterminal Arjosari Malang. Beberapa pengamen
bergantian keluar masuk bus yang saya tumpangi, sampai akhirnya sekelompok
pengamen yang masuk di pertigaan Purwosari menyanyikan sebuah lagu yang cukup
tren dikalangan pecinta music koplo Jawa Timur, entah kalau tidak salah
judulnya Wedus (Jawa: kambing). Kurang
lebih setelah saya searching internet liriknya begini:
Mending tuku sate
timbang tuku weduse
Mending gendakan timbang dadi bojone
Mangan sate ora mikir mburine
Ngingu wedhus ndadak mikir sukete
Timbang di gejoh ora ono duite
Mending tak gawe gendakan wae
Ora usah mikir sak bendidane
Seminggu cukup sepisan wae
Mergone aku ora kuat
Yen duwe bojo wong melarat
Ra mblanjani gawene sambat
Seneng kumpul modal dengkul bondo nekat
Mending gendakan timbang dadi bojone
Mangan sate ora mikir mburine
Ngingu wedhus ndadak mikir sukete
Timbang di gejoh ora ono duite
Mending tak gawe gendakan wae
Ora usah mikir sak bendidane
Seminggu cukup sepisan wae
Mergone aku ora kuat
Yen duwe bojo wong melarat
Ra mblanjani gawene sambat
Seneng kumpul modal dengkul bondo nekat
Courtesy of liriklagu.asia
Pada awalnya saya rasa biasa saja,, tetapi setelah saya
perhatikan karena vokalisnya seorang perempuan sekitar umur 30an menyanyikan
dengan penuh perasaan akhirnya saya mengamati tiap lirik lagu tersebut yang
juga ada seorang anak kecil sekitar 7 tahunan ikut menyanyikan lagu tersebut.
Dan luar biasa sebuah fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat. Pertama, paradigma masyarakat yang memandang gendakan (Jawa: pacaran) sebagai hal yang lumrah dan laten, padahal
masyarakat Jawa pada umumnya memiliki nilai dan norma yang ketika saya masih
kecil dulu memandang hal tersebut sebagai hal yang tabu. Budaya sosial yang
mulai mengalami pergeseran nilai karena pengaruh budaya luar yang begitu kuat. Entah
bagaimana paradigma masyarakat yang tidak hanya kaula muda sekarang memandang gendakan tersebut menjadi hal yang
laten. Ironisnya lagi setelah mendengar lirik “Mending gendakan timbang dadi bojone” melihat sebuah fenomena
tersebut dari sudut pandang budaya Jawa yang memandang gendakan merupakan hal yang tabu di masyarakat serta kaca mata
Islam yang mengajarkan kita menjauhi zina dan memerintahkan nikah sebagai
solusi, justru menjadi hal yang kontradiktif yang bertabrakan dengan paradigma
masyarakat saat ini. Kaum akar rumput seringkali menjadi sasaran pembodohan dan
perubahan nilai yang menjadi nurani masyarakat Jawa sejak dulu karena mereka
tidak banyak mengamati dan mengkritisi fenomena soasial yang ada. Mereka lebih
tertarik dengan alunan musik koplo yang dimainkan serta para artis yang
acapkali mengumbar aurat mereka didepan masyarakat umum meskipun mereka tahu
ada banyak anak kecil yang juga menyaksikannya. Sehingga pada akhirnya alunan
musik yang berisi lirik “sesat” seperti itulah yang menjadi pedoman tingkah
laku bermasyarakat. Karena hal tersebut telah tertanam melalui anak-anak kecil
yang menyanyikannya.
Kedua, dunia anak-anak yang seharusnya mengerti bermain, adu
ketangkasan, berkelompok sudah berganti dengan hal yang sangat tabu bagi mereka
yaitu gendakan dan bojo (Jawa: suami atau istri). Mereka tidak
pernah kenal lagu anak-anak yang mungkin ketika saya dulu suka menyanyikannya
bersama teman-teman saya saat bermain. Kemanakah lagu anak-anak sekarang? Kemanakah
para orang tua yang seharusnya menghindari lagu “sesat” tersebut kepada
anak-anaknya tapi jurtru ikut bernyanyi dan mengajarkan hal tersebut kepada
mereka? Akan dicetak seperti apakah anak-anak masa depan? Bukankah mereka
adalah aktor yang bertanggung jawab terhadap peradaban manusia?
Ketiga, kita seringkali diajak untuk berfikir praktis dan
pragmatis. Lewat lagu tersebut salah satunya yang berisi lirik
Timbang di gejoh ora ono duite
Mending tak gawe gendakan wae
Ora usah mikir sak bendidane
Seminggu cukup sepisan wae
Apakah kita akan terus mengamini lirik-lirik seperti itu? Menjadikan
pedoman kehidupan kita sehari-hari? Mengajarkan tidak mau berusaha kepada anak,
adik dan masyarakat kita? Ini tugas kita bersama melakukan kontrol sosial,
melakukan perubahan, serta memberikan
edukasi kepada masyarakat akar rumput untuk tidak menjadikan lagu-lagu seperti
itu sebagai euforia sehingga masyarakat sekitar tidak terhegemoni oleh lirik
sesat dan pola pikir praktis dan pragmatis.
Masa depan bangsa ada di tangan kita, tugas kita bersama
mengkawal gejala sosial yang terjadi di masyarakat, memberikan pendidikan kepada
orang disekitar kita. Mari bersama menjadi bangsa yang lebih beradab, maju dan
madani.
*Prima T. Amrillah
Sekbid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang 2013-2014
Posting Komentar