Assalamualikum, Selamat Datang. Salam Ukhuwah



Sebuah Fenomena

Selasa, 07 Januari 20140 komentar


Beberapa hari yang lalu kebetulan saya mudik ketanah kelahiran saya di Pamekasan Madura, perjalanan yang biasa saya tempuh dengan motor kali ini saya tempuh dengan bus. Sejenak terasa biasa saja ketika perjalanan bus ekonomi berangkat dariterminal Arjosari Malang. Beberapa pengamen bergantian keluar masuk bus yang saya tumpangi, sampai akhirnya sekelompok pengamen yang masuk di pertigaan Purwosari menyanyikan sebuah lagu yang cukup tren dikalangan pecinta music koplo Jawa Timur, entah kalau tidak salah judulnya Wedus (Jawa: kambing). Kurang lebih setelah saya searching internet liriknya begini:


Mending tuku sate timbang tuku weduse
Mending gendakan timbang dadi bojone
Mangan sate ora mikir mburine
Ngingu wedhus ndadak mikir sukete


Timbang di gejoh ora ono duite
Mending tak gawe gendakan wae
Ora usah mikir sak bendidane
Seminggu cukup sepisan wae

Mergone aku ora kuat
Yen duwe bojo wong melarat
Ra mblanjani gawene sambat
Seneng kumpul modal dengkul bondo nekat

Courtesy of liriklagu.asia

Pada awalnya saya rasa biasa saja,, tetapi setelah saya perhatikan karena vokalisnya seorang perempuan sekitar umur 30an menyanyikan dengan penuh perasaan akhirnya saya mengamati tiap lirik lagu tersebut yang juga ada seorang anak kecil sekitar 7 tahunan ikut menyanyikan lagu tersebut.

Dan luar biasa sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Pertama, paradigma masyarakat yang memandang gendakan (Jawa: pacaran) sebagai hal yang lumrah dan laten, padahal masyarakat Jawa pada umumnya memiliki nilai dan norma yang ketika saya masih kecil dulu memandang hal tersebut sebagai hal yang tabu. Budaya sosial yang mulai mengalami pergeseran nilai karena pengaruh budaya luar yang begitu kuat. Entah bagaimana paradigma masyarakat yang tidak hanya kaula muda sekarang memandang gendakan tersebut menjadi hal yang laten. Ironisnya lagi setelah mendengar lirik “Mending gendakan timbang dadi bojone” melihat sebuah fenomena tersebut dari sudut pandang budaya Jawa yang memandang gendakan merupakan hal yang tabu di masyarakat serta kaca mata Islam yang mengajarkan kita menjauhi zina dan memerintahkan nikah sebagai solusi, justru menjadi hal yang kontradiktif yang bertabrakan dengan paradigma masyarakat saat ini. Kaum akar rumput seringkali menjadi sasaran pembodohan dan perubahan nilai yang menjadi nurani masyarakat Jawa sejak dulu karena mereka tidak banyak mengamati dan mengkritisi fenomena soasial yang ada. Mereka lebih tertarik dengan alunan musik koplo yang dimainkan serta para artis yang acapkali mengumbar aurat mereka didepan masyarakat umum meskipun mereka tahu ada banyak anak kecil yang juga menyaksikannya. Sehingga pada akhirnya alunan musik yang berisi lirik “sesat” seperti itulah yang menjadi pedoman tingkah laku bermasyarakat. Karena hal tersebut telah tertanam melalui anak-anak kecil yang menyanyikannya.

Kedua, dunia anak-anak yang seharusnya mengerti bermain, adu ketangkasan, berkelompok sudah berganti dengan hal yang sangat tabu bagi mereka yaitu gendakan dan bojo (Jawa: suami atau istri). Mereka tidak pernah kenal lagu anak-anak yang mungkin ketika saya dulu suka menyanyikannya bersama teman-teman saya saat bermain. Kemanakah lagu anak-anak sekarang? Kemanakah para orang tua yang seharusnya menghindari lagu “sesat” tersebut kepada anak-anaknya tapi jurtru ikut bernyanyi dan mengajarkan hal tersebut kepada mereka? Akan dicetak seperti apakah anak-anak masa depan? Bukankah mereka adalah aktor yang bertanggung jawab terhadap peradaban manusia?

Ketiga, kita seringkali diajak untuk berfikir praktis dan pragmatis. Lewat lagu tersebut salah satunya yang berisi lirik


 Timbang di gejoh ora ono duite

Mending tak gawe gendakan wae
Ora usah mikir sak bendidane
Seminggu cukup sepisan wae

Apakah kita akan terus mengamini lirik-lirik seperti itu? Menjadikan pedoman kehidupan kita sehari-hari? Mengajarkan tidak mau berusaha kepada anak, adik dan masyarakat kita? Ini tugas kita bersama melakukan kontrol sosial, melakukan perubahan, serta  memberikan edukasi kepada masyarakat akar rumput untuk tidak menjadikan lagu-lagu seperti itu sebagai euforia sehingga masyarakat sekitar tidak terhegemoni oleh lirik sesat dan pola pikir praktis dan pragmatis.


Masa depan bangsa ada di tangan kita, tugas kita bersama mengkawal gejala sosial yang terjadi di masyarakat, memberikan pendidikan kepada orang disekitar kita. Mari bersama menjadi bangsa yang lebih beradab, maju dan madani.

*Prima T. Amrillah
Sekbid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang 2013-2014
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Segelas Kopi untuk Ikatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger