Ada sebuah pertanyaan
serius dari salah seorang kader, pertanyaan ini begitu menggelisahkan saya
selaku kakak angkatan. “Untuk apa kira berlelah-lelah ngurus IMM?” dari
pertanyaan sederhana itu tertangkap jelas jika selama ini ber-IMM dianggap
sebagai sebuah beban baru dalam hidupnya. Hal itu tercermin ketika Musykom
berakhir, ada rasa bahagia karena sudah tidak lagi mengurusi komisariat. Lalu
saya bertanya balik “Apakah selama ini kamu menganggap ini beban?” ia pun hanya
menganggukkan kepala dan itu sudah cukup menjawab.
Mungkin saja ditempat
lain, masih banyak kader yang merasa jika mengurusi IMM ini adalah sebuah beban
bagi hidupnya, sehingga tak sedikit yang sudah purna masa amanahnya di
komisariat, enggan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya seperti Korkom,
Cabang, DPD hingga DPP. Alasannya klasik, karena enggan untuk terbebani lagi.
Bayangkan bagaimana beban yang harus dipikul ketika menjadi Pimpinan Cabang IMM
di Malang yang harus menyelesaikan permasalahan 21 komisariat? Tentu sangat
berat dan tidak semua orang mampu. Untuk itulah setiap moment Musycab –dalam
pandangan umum—setiap komisariat lebih banyak yang menolak daripada menerima.
Tapi yang membuat kita
semua gelisah adalah mindset jika ber-IMM adalah “beban”. Mindset seperti ini
begitu mengkhawatirkan. Pertama, orang yang hidupnya merasa terbebani
pasti akan merasa menderita. Kedua, dalam keadaan yang menderita itulah
apa yang ia lakukan pasti tidak dari hati, akan penuh umpatan dan keluhan. Ketiga,
bahwa perasaan terbebani itu akan tercemin dalam sikap dan ekspresi wajahnya,
bisa jadi keadaan itu akan dibaca oleh kader dibawahnya dan itu akan menular.
Memang hidup ini tidak
pernah lepas dari beban. Misalkan saja dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu
dihadapkan oleh persoalan yang kadang tak terduga. Jika itu dianggap beban,
betapa beratnya beban yang harus kita pikul? Tapi bagaimana jika setiap
permasalahan yang ada itu justru kita syukuri dan kita anggap sebagai hadiah
terindah dari Tuhan agar mendidik jiwa kita untuk lebih dewasa? Tentu itu akan
berbeda.
Jika setiap hal yang
harus kita selesaikan selalu dianggap beban, lalu bagaimana dengan Nabi
Muhammadi Saw yang disetiap detik hidupnya tidak pernah luput dari masalah? Dan
umumnya masalah yang dihadapi itu bukan masalah pribadi melainkan masalah
ummatnya. Lalu bagaimana dengan Presiden yang harus memimpin jutaan rakyat?
Bagaimana dengan Guberbur, Walikota, camat, hingga lurah yang mereka harus
menyelesaikan permasalahan orang yang dipimpinnya? Beban mereka lebih berat
dari kita yang kadang hanya bisa mengkritik.
Lantas bagaimana dengan
mereka yang lahir dengan ketidaksempurnaan? Misalkan orang yang buta, tuna
rungu, tidak punya tangan, tidak punya kaki, atau bahkan mereka yang sepanjang
tahun harus berjibaku dengan obat-obatan karena penyakitnya yang kronis? Beban
hidup mereka begitu besar, sejenak pun kita tak akan bisa membayangkan jika
ditakdirkan seperti mereka, kita belum tentu sekuat dan setegar mereka. Mungkin
saja jika akal sehat telah hilang, kita akan bunuh diri.
Dan jikalau tidak ada
orang yang mau terbebani oleh permasalahan sosial, siapa yang mau membangun
lembaga pendidikan yang bagus? Siapa yang mau mengurusi pelayanan publik? Siapa
yang mau mengurusi masjid agar bisa digunakan untuk tempat ibadah banyak orang?
Siapa yang mau mengurusi persoalan hidup ini jika banyak dari mereka yang hanya
memikirkan dirinya sendiri dan tidak memikirkan orang lain dan lingkungannya?
Untuk itu harusnya kita mensyukuri apa yang kita miliki ini, kita masih punya
tubuh yang sehat dan fikiran yang tajam untuk kita gunakan dalam menyelami
lautan bernama kehidupan ini.
Maka dari itu, ber-IMM
sejatinya adalah proses pendidikan untuk diri kita sendiri. Sebuah pembelajaran
yang riil jika suatu saat kita mau tidak mau harus memecahkan berbagai
problematika hidup yang rumit dan disaat yang sama pula, kita harus memikirkan
orang lain ; keluarga, teman, sahabat hingga kepentingan ummat. Pelajaran
kehidupan tidak cukup dengan teori-teori, kedewasaan tidak cukup dengan
kata-kata, butuh situasi yang kongkrit dimana kita harus memilih ; maju atau
mundur, melangkah atau menyerah. Semua itu pilihan.
Karena hidup ini terlalu
singkat untuk kita jadikan beban. Kita harus mensyukurinya, mensyukuri
kemampuan kita yang masih bisa bergerak dan berfikir untuk berbuat sesuatu
dalam hidup ini, bukan hanya untuk kita sendiri melainkan juga untuk orang
lain. di IMM, ketika menjadi pengurus, kita harus melakukan banyak hal.
Misalkan menyiapkan kurikulum perkaderan, membuat progam-progam untuk
meningkatkan kompetensi kader kita, meluangkan waktu untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada, dan masih banyak lainnya.
Saat itu sebenarnya kita
sudah belajar melampaui diri kita sendiri. Kita sudah selangkah lebih maju
sebagai orang yang hendak berproses lebih dewasa. Karena kita tidak memikirkan
diri kita sendiri, kita memikirkan kondisi orang lain. Maka, daripada
menganggap ini “beban” adakalanya kita merubah mindset itu, kita harus
bersyukur ternyata kita bisa mengelola Ikatan ini dengan baik sehingga ber-IMM
bisa menjadi cermin diri untuk menjadi manusia yang lebih tangguh dan peduli.
Sekali lagi ini bukan “beban” tapi adalah sebuah anugrah dari Tuhan, anugrah
berupa kedewasaan dan anugrah berupa kemampuan. Kita bisa! Wollohu’alam
By
: A Fahrizal Aziz
Kabid
Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang periode 2013-2014
+ komentar + 1 komentar
Super sekali. :)
Posting Komentar