Malam itu saya harus segera ke Aula Masjid AR Fahrudin. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. siang harinya saya di sms Mas Yusuf, Ketua PC IMM Malang untuk membuka acara Diklat Manajemen Organisasi (DMO) IMM “Raushan Fikr” FKIP. Saya sampai di lokasi pukul 19.15, saya pikir sudah telat. Karena saya dengar, akhir-akhir ini teman-teman IMM mulai menerapkan budaya tepat waktu. Ternyata tidak, acara baru dimulai pukul 20.14, selain menunggu Ayahanda Dicky (saya biasa memanggilnya Bang Dicky) yang membawakan stadium general, para panitia juga banyak yang masih kuliah dan baru selesai pukul 20.00. otomatis waktu menyesuaikan.
Bang Dicky sendiri baru
sampai sekitar pukul 20.00, ini untuk kedua kalinya saya bertemu Bang Dicky
dalam acara Pembukaan. Pertama, waktu Pembukaan DAD IMM Koms. Budi Utomo di
SMPM 8 Kota Batu, kala itu Bang Dicky mengisi Stadium General dan Saya
ditugaskan untuk membuka acara menggantikan ketua Cabang saat itu, Mas Arif
Rahmawan. Kedua, adalah acara DMO Koms. Raushan Fikr ini.
Waktu pembukaan DAD
Koms. Budi Utomo dulu, kami hanya berbincang sedikit di luar ruangan. Baru
setelah giliran masuk, panitia memanggil. Sehingga interaksi antara saya dan
bang Dicky begitu singkat. Tapi dalam agenda DMO FKIP ini, saya duduk
bersebelahan dengan Bang Dicky dan mengikuti sampai akhir isi stadium general
yang disampaikan beliau. Dari sana saya memetik banyak pelajaran hidup.
Menurut saya, Bang Dicky
adalah tipikal manusia yang sangat Idealis. Ia memandang jika kemuliaan
seseorang itu tidak bisa dinilai sekedar jabatan. Ada yang lebih tinggi, yaitu
Integritas. Meskipun pangkatnya kini adalah PNS Golongan IV-c, pangkat yang
cukup tinggi, namun Bang Dicky masih mau bersusah payah meneruskan bisnis
Lundry yang telah ia geluti sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan
mengantarkannya sendiri ke rumah pelanggan.
Bang Dicky juga menjadi
tour leader dan telah menjelajahi ¾ dunia. Saya salut dengan beliau.
Setidaknya, sebagai Ayahanda IMM, Bang Dicky adalah tipikal orang yang jauh
dari sifat pragmatis. Hidupnya begitu sederhana. Ia berprinsip jika seseorang
itu harusnya tidak melihat jabatan yang diduduki, melainkan melihat sejauh mana
ia memberikan manfaat kepada orang lain.
“Kalian pasti tidak
pernah bangga dengan Ayah, seorang Buruh cuci, PNS kelas kurcaci. Namun Ayah
hanya berpesan, jika suatu saat kalian mendapatkan cobaan hidup yang berat,
ingatlah jalan hidup Ayah, yang meski rumahnya kecil dipinggir kali, tapi
semangat hidupnya tak pernah berhenti,” ucap beliau.
Saya terenyuh. Kata-kata
itu begitu dalam. Bang Dicky seolah ingin menjadi contoh bagi anak-anaknya,
bahwa hidup adalah perjuangan! Sesulit apapun hidup harus ditempuh! Bang Dicky
juga tipikal orang yang tidak takut terhadap tantangan. Bahkan, ia pernah nekat
naik haji dengan uang 2,4 juta. Meski akhirnya dideportasi.
Saya yakin. Dengan
Mental yang memadahi dan retorika yang baik, Bang Dicky bisa saja memilih jalan
hidup yang lain. Misalkan menjadi Pejabat, tapi sekali lagi, karena saya pikir
idealisme yang begitu tinggi, Bang Dicky lebih memilih hidup merdeka. Dan
mungkin saja itulah kebahagiaan yang beliau dapat. Meski telah menjadi PNS IV-c
dan tour leader, tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai “buruh cuci”.
“Karena pekerjaan ini
memberikan Abang banyak pelajaran, berinteraksi dengan banyak orang,” jelasnya
ditengah-tengah acara stadium general.
Lagipula, Bang Dicky
kini juga bertugas sebagai pengawas SMA/MA/SMK Kota Malang. aktifitasnya tentu
begitu padat, belum lagi sebagai tour leader dan harus mengantarkan banyak
orang ke luar negeri, entah untuk sekedar jalan-jalan, umroh hingga Ziarah.
Memang terasa janggal, kenapa tetap melanjutkan kesibukannya sebagai “buruh
cuci”? bukankah itu pekerjaan kasar? Sekali lagi. Ukuran hidupnya memang bukan
materi dan jabatan.
Orang-orang seperti Bang
Dicky memang tidak banyak akhir-akhir ini. Apalagi kaum aktifis, rata-rata
selepas mereka dari aktifitas di Organisasi, arah tujuannya adalah ke
Birokrasi. Entah itu Birokrasi kampus atau Pemerintahan. Ada yang bertujuan
menjadi Dosen, Pejabat Universitas, hingga Pejabat Publik. Maka tak salah jika
ada anggapan, organisasi ektra kampus itu mencetak banyak para politisi.
Termasuk IMM, barangkali.
Semua orang tentu punya
jalan hidup masing-masing. Termasuk Bang Dicky yang tidak terlalu suka dengan
gegap gempita Politik, atau pengap sesaknya perebutan Jabatan di Kampus. Dari
Bang Dicky, saya belajar sebuah makna idealitas yang utuh. Saya juga belajar
sebuah kebahagiaan hidup. Meski setiap hari harus berlelah-lelah mengurusi
bisnis laundrynya, mengantarkannya ke pelanggan. Tapi Bang Dicky begitu
menikmatinya. Saya salut dengan Ayahanda. Terima kasih.
A
Fahrizal Aziz
Kabid
Riset dan Pengembangan Keilmuan
Posting Komentar