Assalamualikum, Selamat Datang. Salam Ukhuwah



Marx Menghujat Dari Alam Kubur: Sebuah Kritik

Kamis, 10 April 20140 komentar


SOPHIE, begitu kita menyebutnya. Nama lengkapnya adalah Sophie Amundsend. Seorang bocah umur empat belas tahun yang imut dan selalu ingin tau. Dalam umurnya yang masih begitu belia dia telah belajar banyak hal. Pengetahuan filsafat dilahapnya dalam hitungan hari. Semua berawal dari “rasa ingin tau”.
Rasa ingin tahu yang begitu dalam menyebabkan manusia berkembang seperti adanya. Banyak dan berbagai macam pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Berbagai terkologi nano dan mikro. Berbagai macam ranah ilmu. Rangkaian ilmu dan pengetahuan. Semua berkembang. Semua berasal dari satu hal dan berakhir dalam satu hal. Berawal dari “rasa ingin tau” dan berakhir pada “pengabdian agung untuk kemanusiaan”. Baiklah, rasa ingin tau dan pengabdian. Kita akan membicarakan keduanya nanti, di akhir tulisan ini.    

***
Melihat negeri ini, rasanya ingin terenyuh. Ingin mencucurkan air mata yang sudah lama mengembung di bilik mata. Negeri yang seharusnya kaya-raya ini menjadi negeri yang tidak karuan. Rakyat kecil termiskinkan, terasingkan dan pada akhirnya terbuang.
“Penguasa negeri ini seudah mati rasa.” BegiTu ujar Syafi`i Ma`arif dalam salah satu wawancara. Tampaknya memang betul apa yang dikatakan beliau. Para penguasa di negeri ini sudah kehilangan hati nuraninya. Padahal, hati nurani inilah yang membedakan antara manusia dan bukan manusia.
Penguasa negeri ini tampaknya sudah tidak lagi memikirkan rakyatnya. Mereka hanya sibuk memikirkan apa yang bisa dikorupsi. Mereka hanya asik memikirkan apa yang bisa dirampas lagi lalu dibagi-bagi untuk mereka sendiri.
Para elit berkumpul membicarakan strategi untuk menjegal rakyatya. Mereka bersidang untuk membicarakan bagaimana memiskinkan rakyatnya. Bagaimana untuk memebuat rakyatnya kurus. Mereka serius membincangkan bagaimana memeras habis keringat rakyatnya. Keringat rakyat diperas habis oleh para penguasa.
Tak ada hak untuk bicara. Tak ada hak untuk berjalan. Tak ada hak untuk menghirup udara yang layak. Tak ada hak, walau sekedar melihat pemandangan. Disana sini selalu ada korupsi. Dalam pembangunan jalan, aspalnya dikorupsi. Pembangunan trotoar, semennya dikorupsi. Pembangunan jembatan, besinya dikorupsi. Bahkan biaya pencetakan Quran juga dikorupsi. Tak ada yang tersisia, semua dikorupsi.
Kita bisa saksikan kaum miskin di sepanjang jalanan. Mereka berjung keras hanya sekedar untuk bertahan hidup. Kita juga bisa saksikan para pengangguran, kumpulan buruh, para kuli, kumpulan tukang becak, kumpulan tukang ojek dan seterusnya. Betapa irosinnya hal ini. Mereka hidup di negari yang penuh barang tambang dan kekayaan alam. Tapi tak pernah sedikitpun menerima nasib yang layak. Bak ayam mati di lumbung padi.
Pembaca yang budiman, beberapa paragraf di atas sedikit memeberikan ilustrasi tertang apa yang sesungguhnya terjadi di Negara kita. Banyak hal yang terabaikan dan tidak terurus. Mulai hal yang paling kecil sampai perkara-perkara fundamental, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan.
***
Selalu ada dua kelompok besar dalam masyarakat. Kedua kelompok tersebut adalah kaum  kaya dan kaum miskin. Karl Marx menyebutnya dengan kelompok borjuis dan proletar, atau kelompok pemegang modal dan kelompok buruh. Kaum kaya tidak ingin hartanya digerogoti oleh kaum miskin. Sebaliknya, kaum miskin harus mendapatkan sedikit banyak harta untuk menghidupi anak dan keluarga mereka. Kaum kaya akan terusmemeras kaum miskin.  Semetara kaum miskin akanmenjadi lebih miskin. Mungkin kita bisamneyimak beberapa fenomena berikut.
Tukang becak yang magkal di pangkalan becak sejak pukul delapan pagi. Dan sama sekali belum mendapatkan penumpang sampai pukul enam sore. Padahal dia harus memeberi nafkah pada anak dan istrinya.
Becaknya itu juga bukan becaknya sendiri. Becak yang dia gunakan untuk mengais rizki hanyalah becak pinjaman. Terpaksa dia harus menyetor pada pemilik becak. Tak tega rasanya melirikkan mata padanya.
Tubuh yang kurus dan agak berkeringat itu harus dipaksa untuk memancal pedal becak. Harus sabar menunggu penumpang. Harus sabar menunggu seseorang yang datang padanya untuk diantar ke suatu tempat.
***
Hampir diseluruh jalanan akan didapati sederet pedagang kaki lima. Mereka menyuguhkan dagangannya pada setiap orang yang lewat. Kesabaran yang penuh harus dihadirkan oleh mereka. Menunggu dan menunggu sampai ada satu dua orang yang mampir ke rombong mereka, yang pada akhirnya tertarik untuk membelinya.
Detik-detik yang berharga mereka habiskan di pinggiran jalan raya. Asap dan debu telah begitu akrab dengan mereka. Namun wajah yang iklas tetap mereka suguhkan. Tetap terenyum dan bicara lembut pada setiap pelanggan.
Tidak ada yang memikirkan nasib mereka. Yang lebih ironis lagi, mereka hidup di tanah yang subur dan penuh barang tambang. Emas, perak, besi, minyak bumi bahkan uranium berada di tanah mereka. Hutan yang begitu luasnya dan lautan tanpa batas adalah milik mereka.
Lalau apa yang salah? Lagi-lagi pemerintahlah yang kurang pandai mengurus negeri ini. Kekayaan yang seharusnya menjadi milik rakyat ini dirampas habis. Tak tersisa. Bahkan sesuap nasi sebagai imbalan pun tak diberikan.
***
Panas, sekitar pukul tiga sore, asap jalanan begitu menyengat di hidung. Keramaian menyelimuti. Masing-masing mengurusi keperluannya sendiri-sendiri. Hampir-hampir tak ada yang menghiraukan panasnya jalanan sore hari.  Hendak menuju stasiun kereta. Seorang ibu yang agak seidikit tua menaiki angkot yang kami naiki sambil membawa tasnya.
Kegaduhan jalanan mebuat pembicaran kami kurang jelas. Itu sebanya pembicaraan ibu yang agak sepuh ini kurang jelas didengar juga. Beberapa kata terceletuk dari mulutnya yang tak begitu kami dengar. Kegaduhan jalanan masih menyelimuti.
Serentak dengan suara agak keras dia mengatakan “Moh....mohhhh........, arek iki HP-nan........, medun.....medun........ tak medun aku, arek ini opo marai....,  HP-nan nggarai duso”  begitu ucapnya sambil melihat salah seorang penumpang lain ketika mememakai HP ditangannya.
Rupa-rupanya ibu setengah tuaa tersebut tidak mau naik angkot dengan seseorang yang memakai HP. Sebut saja namanya Hanum, salah seorang penumpang angkot lain yang memegang HP ditangannya itu.
Serentak ibu mengehentikan supir angkot, dan dengan wajah yang kurang mengenakkan ibu itu turun dan mencari angkot lain. Ibu tersebut menganggap pengguna HP sebagai seorang pendosa. Baginya, HP adalah barang yang haram dan terlarang untuk dipakaikarena menimbulkan dosa. Memakai HP adalah sebuah dosa besar, begitu anggapnya.
Tentu hal ini karena minimnya pengetahuan ibu tadi. Minimya pengetahuan karena begitu kurangnya pendidikan. Sekali lagi, tugas siapa untuk mendidik rakyat? Tentu jawabannya adalah tugas para penguasa. Para penguasa yang harus memebuat rakyarnya cerdas. Tapi sampai kini masih banyak orang berpengatauhan minim seperti ibu tadi. 
***
Suasana terminal kota yang begitu panas, membuat semua orang harus pandai-pandai mengendalikan emosi. Inilah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi terminal sore itu. Sang surya mulai tenggelam ke barat. Suasana panas yang bercampur asap juga memebuat para supir bus agak sulit menahan emosi.
Para supir harus berebut penumpang. Satu dua orang datang langsung diserbu oleh para supir bus. Semua menawari tiket. Dan kesemuanya menyebutkan harga murah. Tidak adal lagi kenyamanan untuk melakukan perjalanan. Supir bis saling sentak satu sama lian gara-gara mereka harus berebut penumpang.
Suasana ini sekilas menunjukkan pada betapa pelayanan transportasi lintas kota masih jauh dari kata “layak”. Kenyamanan yang seharsnya diberikan pada setiap orang yang hendak melakukan perjalanan belum diberikan.
“Salah siapa?” tampaknya agak sulit untuk menjawab pertanyaan sederhana ini. Ada banyak hal yang perlu dijelaskan untuk menjawab pertanyaan singkat ini.
Pemerintah tentunya merupakan unsur yang paling berperan dalam hal ini. Besarnya peran pemerintah ini seharusnya diiringi dengan tanggungjawab yang penuh. Seharusnya merekalah yang memikirkan persoalan ini. Mereka harus melayani masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah persoalan kenyamanan transportasi.
Rakyat ingin merasakan kenyamanan dalam hal apapun. Dan mewujudkan kenyamana tersebut tentunya adalah tugas dan wewenang pemerintah. Pemerintah selayaknya jangan hanya memikirkan diri seidiri dan keluarganya saja. Apalagi mereampas hak rakyat dengan melakukan korupsi besar-besaran. Mereka seharusnya sadar, bahwa banyak hal yang masih harus mereka perbaiki.
***
Beberapa cerita diatas menggambarkan bahwa para penguasa benar-benar tidak memikirkan rakyatnya. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab secara jujur adalah “kemana mereka?” Kemana peginya mereka saat rakyat membutukan mereka? Mereka tampaknya sedang asik menikmati gajinya. Atau sedang asik menikmati fasilitas-fasilitas yang diberikan negara.
Baiklah, kita memebicarakan fasilitas mewah dan gaji. Tapi sebenarnya untuk apa mereka digaji. Para penguasa itu kerjanya tidak jelas apa saja yang mereka lakukan. Sementara mereka mendapat fasilitas mewah dan gaji yang tidak sedikit.
Baiklah, mereka mendapat failitas mewah. Sebut saja rumah mewah, mobil mewah, gaji yang besar, dan beberapa fasilitas lain yang belum disebutkan. Saya kira itu sudah cukup untuk mereka.
Tapi kalau kita lihat, mereka masih saja melakukan korupsi. Uang hak rakyat dikorupsi untuk menyenangkan diri merka sendiri. Hal ini tentunya sudah sangat keterlaluan. Kekayan negara dimasukkan ke saku mereka sendiri.
Rakyat sudah bosan dengan omongan-omongan yang banyak memebicarakan ini dan itu. Dan saya kira, tentunya rakyat tidak butuh omongan-omongan yang tidak ada buktinya yang keluar dari kata-kata mereka itu.
Kalau ditanya “rakyat yang mana?”. Ya sebut saja mereka bertiga di atas. Tukang becak, tukang ojek, ibu-ibu tua, para supir bus, supir mikrolet, para pengemis jalanana, tukang parkir, pedagang kaki lima, para pengasong,  para ibu yang harus memebayar uang sekolah anakanya, juga tagihan listrik, juga tagihan hutangnya pada toko sebelah, mereka yang sibuk mengayun cangkul di sawah, dan seterusnya. Saya kira mereka semua rakyat.
Kesenjangan yang terjadi memang sengaja diciptakan. Yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin menjadi miskin. Itulah faktanya. Wahai para pemnguasa, mengapa kamu tidak bosan-bosan mengumpulkan uang untuk dirimu sendiri. Berpura-pura baik untuk menutupi keburuka dibalik wajah itu.
Adalah Karl Frederik Marx, atau sering disebut dengan Karl Marx saja, seorang filsuf yang tersohor itu akan jijik melihat fakta ini. Dan tentunya dia akan menghujat hal ini. Kesenjangan yang sengaja dibuat antara sikaya dan simiskin, yang membuat simiskin makin menjadi miskin dan menderita. Sementara sikaya terus bersenang-senang.
Saya adalah saksi rezim yang penuh ilusi ini. Saat tulisan ini saya buat, tentunya semua persoalan ini belum terselesaikan. Bahkan sama sekali belum disentuh. Bahkan makin menjadi-jadi. Mereka yang miskin turun-termurun, semakin menjadi miskin hari demi hari. Para penguasa yang tidak bermoral membuat mata ini menjadi merah.
***
Baiklah, sophie, rasa ingin tau, ilmu, pengabdia,  kemanusiaan, kemiskinan, tukang becak, nenek tua, supir bis, tukang ojek, Marx, rezim, dan seterusnya. Rasanya sudah jelas betul permasalahannya.
Berawal dari rasa ingin tau seperti sikap Sophie, ilmu, pengetahuan, filsafat, dan teknologi berkembang. Siapa yang mengembangkannya? Tentu kita. Dan ilmu, pengetahuan, filsafat, dan teknologi, semuanya harus digunakan untuk membuat rakyat sejahtera. Siapa yang melaukannya? tentu kita juga. Tentu kita sebagai manusia yang melakukannya, ditengah-tengah berjalannya umur kita.
Umur yang begitu berharga ini detik demi detik terlewati. Tahun demi tahun juga terlewati. Pertanyaan sederhananya adalah “apakah kita akan melewatkan umur kita begitu saja?” padahal ada dua tugas besar yang harus dilakukan. Terutama untuk membenahi bangsa kita.
Tugas siapa? Tentu menjadi tugas kita sebagai kader bangsa untuk membenahi bangsa kita sendiri. Mulai dari memepertajam ilmu, mencerdaskan masyarakat, tetap optimis, ciptakan manusia-manusia kritis, produktif. Iptakan mansusia-manusia bermoral. Dna semua berujung pada satu hal, yakni pembenahan atas bangsa kita.
Pembaca budiman, tulisan singkat ini sesungguhnya hanya wadah untuk berbagi pengalaman. Karena pengalaman adalah hak milik bagi yang mengalami, mau diapakan saja olehnya sendiri, dan tak ada kekuatan yang bisa merempasnya, begitu kata Pramoedya Ananta.  (*)
 

* Oleh M. Khusnul Khuluq, Penulis adalah kader IMM Komisariat Tamaddun Fakultas Agama Islam Univesitas Muhammadiyah Malang. Mahasiswa Jurusan Syariah, sekaligus mahasiswa Program Pendidikan Ulama Tarjih (PPUT)  Fakultas Agama Islam 2011 Universitas Muhammadiyah Malang. Selain itu juga menjabat sebagai Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Keilmuan FORSIFA (Forum Studi Islam Fakultas Agama) 2013-2014 Universitas Muhammadiyah Malang. Lahir di Bojonegoro, 14 November 1990. Aktif menulis di beberapa media masa.  Motto penulis adalah: (1) Jadilah ilmuannya para ilmuan. (2) Intelektualitas tidak ada artinya tanpa kontribusi nyata pada masyarakat. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: muhammadkkhuluq@yahoo.co.id. Cp: 0856-0410-7751.


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Segelas Kopi untuk Ikatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger