SOPHIE, begitu kita menyebutnya. Nama lengkapnya adalah Sophie Amundsend. Seorang bocah
umur empat belas tahun yang imut dan selalu ingin tau. Dalam umurnya yang masih
begitu belia dia telah belajar banyak hal. Pengetahuan filsafat dilahapnya
dalam hitungan hari. Semua berawal dari “rasa ingin tau”.
Rasa ingin
tahu yang begitu dalam menyebabkan manusia berkembang seperti adanya. Banyak
dan berbagai macam pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Berbagai terkologi
nano dan mikro. Berbagai macam ranah ilmu. Rangkaian ilmu dan pengetahuan.
Semua berkembang. Semua berasal dari satu hal dan berakhir dalam satu hal.
Berawal dari “rasa ingin tau” dan berakhir pada “pengabdian agung untuk
kemanusiaan”. Baiklah, rasa
ingin tau dan pengabdian. Kita akan membicarakan keduanya nanti, di akhir
tulisan ini.
***
Melihat negeri ini, rasanya ingin terenyuh. Ingin
mencucurkan air mata yang sudah lama mengembung di bilik mata. Negeri yang seharusnya
kaya-raya ini menjadi negeri yang tidak karuan. Rakyat kecil termiskinkan, terasingkan
dan pada akhirnya terbuang.
“Penguasa
negeri ini seudah mati rasa.” BegiTu ujar Syafi`i Ma`arif dalam salah satu
wawancara. Tampaknya memang betul apa yang dikatakan beliau. Para penguasa di negeri
ini sudah kehilangan hati nuraninya. Padahal, hati nurani inilah yang
membedakan antara manusia dan bukan manusia.
Penguasa negeri
ini tampaknya sudah tidak lagi memikirkan rakyatnya. Mereka hanya sibuk
memikirkan apa yang bisa dikorupsi. Mereka hanya asik memikirkan apa yang bisa
dirampas lagi lalu dibagi-bagi untuk mereka sendiri.
Para elit
berkumpul membicarakan strategi untuk menjegal rakyatya. Mereka bersidang untuk
membicarakan bagaimana memiskinkan rakyatnya. Bagaimana untuk memebuat
rakyatnya kurus. Mereka serius membincangkan bagaimana memeras habis keringat
rakyatnya. Keringat rakyat diperas habis oleh para penguasa.
Tak ada hak
untuk bicara. Tak ada hak untuk berjalan. Tak ada hak untuk menghirup udara
yang layak. Tak ada hak, walau sekedar melihat pemandangan. Disana sini selalu
ada korupsi. Dalam pembangunan jalan, aspalnya dikorupsi. Pembangunan trotoar,
semennya dikorupsi. Pembangunan jembatan, besinya dikorupsi. Bahkan biaya
pencetakan Quran juga dikorupsi. Tak ada yang tersisia, semua dikorupsi.
Kita bisa
saksikan kaum miskin di sepanjang jalanan. Mereka berjung keras hanya sekedar
untuk bertahan hidup. Kita juga bisa saksikan para pengangguran, kumpulan
buruh, para kuli, kumpulan tukang becak, kumpulan tukang ojek dan seterusnya.
Betapa irosinnya hal ini. Mereka hidup di negari yang penuh barang tambang dan kekayaan
alam. Tapi tak pernah sedikitpun menerima nasib yang layak. Bak ayam mati di
lumbung padi.
Pembaca yang
budiman, beberapa paragraf di atas sedikit memeberikan ilustrasi tertang apa
yang sesungguhnya terjadi di Negara kita. Banyak hal yang terabaikan dan tidak
terurus. Mulai hal yang paling kecil sampai perkara-perkara fundamental,
termasuk dalam hal ini adalah pendidikan.
***
Selalu ada dua
kelompok besar dalam masyarakat. Kedua kelompok tersebut adalah kaum kaya dan kaum miskin. Karl Marx menyebutnya
dengan kelompok borjuis dan proletar, atau kelompok pemegang modal dan kelompok
buruh. Kaum kaya tidak ingin hartanya digerogoti oleh kaum
miskin. Sebaliknya, kaum miskin harus mendapatkan sedikit banyak harta untuk
menghidupi anak dan keluarga mereka. Kaum
kaya akan terusmemeras kaum miskin. Semetara kaum miskin akanmenjadi lebih miskin.
Mungkin kita bisamneyimak beberapa fenomena berikut.
Tukang becak
yang magkal di pangkalan becak sejak pukul delapan pagi. Dan sama sekali belum mendapatkan
penumpang sampai pukul enam sore. Padahal dia harus memeberi nafkah pada anak
dan istrinya.
Becaknya itu
juga bukan becaknya sendiri. Becak yang dia gunakan untuk mengais rizki
hanyalah becak pinjaman. Terpaksa dia harus menyetor pada pemilik becak. Tak
tega rasanya melirikkan mata padanya.
Tubuh yang
kurus dan agak berkeringat itu harus dipaksa untuk memancal pedal becak. Harus
sabar menunggu penumpang. Harus sabar menunggu seseorang yang datang padanya untuk
diantar ke suatu tempat.
***
Hampir
diseluruh jalanan akan didapati sederet pedagang kaki lima. Mereka menyuguhkan
dagangannya pada setiap orang yang lewat. Kesabaran yang penuh harus dihadirkan
oleh mereka. Menunggu dan menunggu sampai ada satu dua orang yang mampir ke
rombong mereka, yang pada akhirnya tertarik untuk membelinya.
Detik-detik
yang berharga mereka habiskan di pinggiran jalan raya. Asap dan debu telah
begitu akrab dengan mereka. Namun wajah yang iklas tetap mereka suguhkan. Tetap
terenyum dan bicara lembut pada setiap pelanggan.
Tidak ada yang
memikirkan nasib mereka. Yang lebih ironis lagi, mereka hidup di tanah yang
subur dan penuh barang tambang. Emas, perak, besi, minyak bumi bahkan uranium
berada di tanah mereka. Hutan yang begitu luasnya dan lautan tanpa batas adalah
milik mereka.
Lalau apa yang
salah? Lagi-lagi pemerintahlah yang kurang pandai mengurus negeri ini. Kekayaan
yang seharusnya menjadi milik rakyat ini dirampas habis. Tak tersisa. Bahkan
sesuap nasi sebagai imbalan pun tak diberikan.
***
Panas, sekitar
pukul tiga sore, asap jalanan begitu menyengat di hidung. Keramaian
menyelimuti. Masing-masing mengurusi keperluannya sendiri-sendiri.
Hampir-hampir tak ada yang menghiraukan panasnya jalanan sore hari. Hendak menuju stasiun kereta. Seorang ibu
yang agak seidikit tua menaiki angkot yang kami naiki sambil membawa tasnya.
Kegaduhan
jalanan mebuat pembicaran kami kurang jelas. Itu sebanya pembicaraan ibu yang
agak sepuh ini kurang jelas didengar juga. Beberapa kata terceletuk dari
mulutnya yang tak begitu kami dengar. Kegaduhan jalanan masih menyelimuti.
Serentak
dengan suara agak keras dia mengatakan “Moh....mohhhh........,
arek iki HP-nan........, medun.....medun........ tak medun aku, arek ini opo
marai...., HP-nan nggarai duso” begitu ucapnya sambil melihat salah seorang
penumpang lain ketika mememakai HP ditangannya.
Rupa-rupanya
ibu setengah tuaa tersebut tidak mau naik angkot dengan seseorang yang memakai
HP. Sebut saja namanya Hanum, salah seorang penumpang angkot lain yang memegang
HP ditangannya itu.
Serentak ibu
mengehentikan supir angkot, dan dengan wajah yang kurang mengenakkan ibu itu
turun dan mencari angkot lain. Ibu tersebut menganggap pengguna HP sebagai
seorang pendosa. Baginya, HP adalah barang yang haram dan terlarang untuk
dipakaikarena menimbulkan dosa. Memakai HP adalah sebuah dosa besar, begitu
anggapnya.
Tentu hal ini
karena minimnya pengetahuan ibu tadi. Minimya pengetahuan karena begitu
kurangnya pendidikan. Sekali lagi, tugas siapa untuk mendidik rakyat? Tentu
jawabannya adalah tugas para penguasa. Para penguasa yang harus memebuat
rakyarnya cerdas. Tapi sampai kini masih banyak orang berpengatauhan minim
seperti ibu tadi.
***
Suasana
terminal kota yang begitu panas, membuat semua orang harus pandai-pandai
mengendalikan emosi. Inilah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi
terminal sore itu. Sang surya mulai tenggelam ke barat. Suasana panas yang
bercampur asap juga memebuat para supir bus agak sulit menahan emosi.
Para supir
harus berebut penumpang. Satu dua orang datang langsung diserbu oleh para supir
bus. Semua menawari tiket. Dan kesemuanya menyebutkan harga murah. Tidak adal
lagi kenyamanan untuk melakukan perjalanan. Supir bis saling sentak satu sama
lian gara-gara mereka harus berebut penumpang.
Suasana ini
sekilas menunjukkan pada betapa pelayanan transportasi lintas kota masih jauh
dari kata “layak”. Kenyamanan yang seharsnya diberikan pada setiap orang yang
hendak melakukan perjalanan belum diberikan.
“Salah siapa?”
tampaknya agak sulit untuk menjawab pertanyaan sederhana ini. Ada banyak hal
yang perlu dijelaskan untuk menjawab pertanyaan singkat ini.
Pemerintah
tentunya merupakan unsur yang paling berperan dalam hal ini. Besarnya peran
pemerintah ini seharusnya diiringi dengan tanggungjawab yang penuh. Seharusnya
merekalah yang memikirkan persoalan ini. Mereka harus melayani masyarakat,
termasuk dalam hal ini adalah persoalan kenyamanan transportasi.
Rakyat ingin merasakan
kenyamanan dalam hal apapun. Dan mewujudkan kenyamana tersebut tentunya adalah
tugas dan wewenang pemerintah. Pemerintah selayaknya jangan hanya memikirkan
diri seidiri dan keluarganya saja. Apalagi mereampas hak rakyat dengan
melakukan korupsi besar-besaran. Mereka seharusnya sadar, bahwa banyak hal yang
masih harus mereka perbaiki.
***
Beberapa
cerita diatas menggambarkan bahwa para penguasa benar-benar tidak memikirkan
rakyatnya. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab secara jujur adalah “kemana
mereka?” Kemana peginya mereka saat rakyat membutukan mereka? Mereka tampaknya
sedang asik menikmati gajinya. Atau sedang asik menikmati fasilitas-fasilitas
yang diberikan negara.
Baiklah, kita
memebicarakan fasilitas mewah dan gaji. Tapi sebenarnya untuk apa mereka
digaji. Para penguasa itu kerjanya tidak jelas apa saja yang mereka lakukan.
Sementara mereka mendapat fasilitas mewah dan gaji yang tidak sedikit.
Baiklah,
mereka mendapat failitas mewah. Sebut saja rumah mewah, mobil mewah, gaji yang
besar, dan beberapa fasilitas lain yang belum disebutkan. Saya kira itu sudah
cukup untuk mereka.
Tapi kalau
kita lihat, mereka masih saja melakukan korupsi. Uang hak rakyat dikorupsi
untuk menyenangkan diri merka sendiri. Hal ini tentunya sudah sangat keterlaluan.
Kekayan negara dimasukkan ke saku mereka sendiri.
Rakyat sudah
bosan dengan omongan-omongan yang banyak memebicarakan ini dan itu. Dan saya
kira, tentunya rakyat tidak butuh omongan-omongan yang tidak ada buktinya yang
keluar dari kata-kata mereka itu.
Kalau ditanya
“rakyat yang mana?”. Ya sebut saja mereka bertiga di atas. Tukang becak, tukang
ojek, ibu-ibu tua, para supir bus, supir mikrolet, para pengemis jalanana,
tukang parkir, pedagang kaki lima, para pengasong, para ibu yang harus memebayar uang sekolah anakanya,
juga tagihan listrik, juga tagihan hutangnya pada toko sebelah, mereka yang
sibuk mengayun cangkul di sawah, dan seterusnya. Saya kira mereka semua rakyat.
Kesenjangan
yang terjadi memang sengaja diciptakan. Yang kaya makin kaya, dan yang miskin
makin menjadi miskin. Itulah faktanya. Wahai para pemnguasa, mengapa kamu tidak
bosan-bosan mengumpulkan uang untuk dirimu sendiri. Berpura-pura baik untuk
menutupi keburuka dibalik wajah itu.
Adalah Karl
Frederik Marx, atau sering disebut dengan Karl Marx saja, seorang filsuf yang
tersohor itu akan jijik melihat fakta ini. Dan tentunya dia akan menghujat hal
ini. Kesenjangan yang sengaja dibuat antara sikaya dan simiskin, yang membuat
simiskin makin menjadi miskin dan menderita. Sementara sikaya terus bersenang-senang.
Saya adalah
saksi rezim yang penuh ilusi ini. Saat tulisan ini saya buat, tentunya semua
persoalan ini belum terselesaikan. Bahkan sama sekali belum disentuh. Bahkan
makin menjadi-jadi. Mereka yang miskin turun-termurun, semakin menjadi miskin
hari demi hari. Para penguasa yang tidak bermoral membuat mata ini menjadi
merah.
***
Baiklah,
sophie, rasa ingin tau, ilmu, pengabdia, kemanusiaan, kemiskinan, tukang becak, nenek
tua, supir bis, tukang ojek, Marx, rezim, dan seterusnya. Rasanya sudah jelas
betul permasalahannya.
Berawal dari
rasa ingin tau seperti sikap Sophie, ilmu, pengetahuan, filsafat, dan teknologi
berkembang. Siapa yang mengembangkannya? Tentu kita. Dan ilmu, pengetahuan,
filsafat, dan teknologi, semuanya harus digunakan untuk membuat rakyat sejahtera.
Siapa yang melaukannya? tentu kita juga. Tentu kita sebagai manusia yang
melakukannya, ditengah-tengah berjalannya umur kita.
Umur yang
begitu berharga ini detik demi detik terlewati. Tahun demi tahun juga terlewati.
Pertanyaan sederhananya adalah “apakah kita akan melewatkan umur kita begitu
saja?” padahal ada dua tugas besar yang harus dilakukan. Terutama untuk
membenahi bangsa kita.
Tugas siapa?
Tentu menjadi tugas kita sebagai kader bangsa untuk membenahi bangsa kita
sendiri. Mulai dari memepertajam ilmu, mencerdaskan masyarakat, tetap optimis,
ciptakan manusia-manusia kritis, produktif. Iptakan mansusia-manusia bermoral.
Dna semua berujung pada satu hal, yakni pembenahan atas bangsa kita.
Pembaca
budiman, tulisan singkat ini sesungguhnya hanya wadah untuk berbagi pengalaman.
Karena pengalaman adalah hak milik bagi yang mengalami, mau diapakan saja olehnya
sendiri, dan tak ada kekuatan yang bisa merempasnya, begitu kata Pramoedya
Ananta. (*)
* Oleh M. Khusnul Khuluq, Penulis adalah kader IMM Komisariat Tamaddun
Fakultas Agama Islam Univesitas Muhammadiyah Malang. Mahasiswa Jurusan Syariah,
sekaligus mahasiswa Program Pendidikan Ulama Tarjih (PPUT) Fakultas Agama Islam 2011 Universitas
Muhammadiyah Malang. Selain itu juga menjabat sebagai Ketua Departemen
Penelitian dan Pengembangan Keilmuan FORSIFA (Forum Studi Islam Fakultas Agama)
2013-2014 Universitas Muhammadiyah Malang. Lahir di Bojonegoro, 14 November
1990. Aktif menulis di beberapa media masa. Motto
penulis adalah: (1) Jadilah ilmuannya para ilmuan. (2) Intelektualitas tidak
ada artinya tanpa kontribusi nyata pada masyarakat. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: muhammadkkhuluq@yahoo.co.id. Cp: 0856-0410-7751.
Posting Komentar