Salah satu tokoh tua Muhammadiyah yang menjadi rujukan
kader-kader mudanya adalah Buya Syafii Maarif. Mantan ketua PP Muhammadiyah
periode 2000-2005 itu memang memiliki integritas keilmuan serta komitmen
kebangsaan yang tinggi. Tak salah jika namanya terus didengungkan dalam
berbagai diskusi, terutama kader-kader IMM yang terpukau dengan wawasan
intelektualnya. Buya adalah sosok yang otentik dan tak banyak di temui di
negeri ini.
Secara personal, saya belum pernah bertemu beliau, dan Buya
juga tidak mengenal saya. Tapi saya selalu aktif mengikuti tulisan-tulisannya
di rubrik Resonansi Republika sejak dua tahun ini. Buku-bukunya juga banyak
tersedia di rak-rak perpustakaan kampus, karena sering membaca karya tulisnya,
saya jadi tertarik untuk menelisik lebih jauh sosok Buya Syafii, apalagi
setelah Damien Dematra menulis Novel dan film tentang perjalanan hidup beliau.
Dari sekian banyak tokoh Muhammadiyah, Buya salah satu yang
disebut “Guru Bangsa”, padahal, secara struktural, Buya tidak pernah memiliki
jabatan Politik. Ia tidak pernah masuk Partai, tidak pernah pula menjadi
Pejabat negara. Julukan sebagai “Guru Bangsa” itu lahir dari sikap-sikapnya
yang orisinil, apa adanya, dan kritis. Ia lahir sebagai seorang akademisi,
intelektual serta tokoh pemersatu bangsa, dan tidak memiliki gairah untuk
terjun dalam dunia politik.
Padahal, Buya pernah menduduki dua jabatan yang sangat
prestisius, yaitu sebagai ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Presiden World
Conference on Religion for Peace (WCRP), Salah satu Organisasi agama
terbesar di dunia. Dua jabatan penting yang bisa ia jadikan jangkar untuk
terjun ke dalam dunia Politik dan menduduki jabatan yang jauh lebih prestisius.
Tapi sikapnya tegas, ia menolak itu semua. Bahkan ia pernah ditawari untuk
menjadi ketua umum salah satu Parpol, tapi ia tetap menolak. Padahal, kini
jabatan sebagai ketua umum Parpol diperebutkan di banyak Partai.
Banyak orang tergoda dengan tiga hal ; harta, tahta, wanita.
Tapi agaknya itu tidak berlaku terhadap Buya Syafii Maarif. Buya tetap beristri
satu, dan tetap menolak segala iming-iming Politik, Jabatan, dan
sejenisnya. Buya justru semakin konsen dengan dunia Intelektual, membuat karya
tulis, mengajar sebagai dosen, dan mengisi majelis ta’lim. Tulisan-tulisannya
tajam menusuk, tapi juga membuat orang terhenyak, sebuah kritik yang memang
datang dari hati yang tulus.
Di usianya yang menginjak angka 79 tahun, Buya juga masih
tetap memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, terutama dengan Yayasan Maarif
Institute yang ia dirikan. Buya mencoba merangkul semua pemuka Agama agar
bersama-sama menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Itulah jalan kebangsaan
yang dipilih Buya, tidak melulu melalui jalan politik yang penuh intrik. Dalam
sebuah wawancara di acara Mata Najwa, Buya pernah ditanya “Kenapa tidak mau terjun
ke politik?” dengan rendah hati Buya menjawab “saya tidak mampu terjun dalam
kultur kumuh itu”.
Kata “tidak mampu” adalah sebuah ungkapan kejujuran,
bagaimana mungkin tokoh sekaliber Buya dengan terbuka mengakui jika ia tidak
mampu? Padahal banyak yang berharap –termasuk saya—agar Buya Syafii Maarif
terjun ke Politik dan meluruskan segala kekeliruan yang ada. Tapi agaknya itu
bukan jalan kebangsaan seorang Buya Syafii Maarif. Ia sadar diri. Buya kini
lebih dihargai sebagai seorang Guru, Intelektual, dan alim ulama. Jika ia
terjun ke Politik, mungkin akan berbeda lagi.
Namun Buya bukan orang yang anti Politik, jika ada tokoh
Politik yang sekiranya cemerlang, Buya tidak segan-segan memuji dan
mendukungnya. Misalkan ketika Pilpres 2009, kala itu Buya dengan terbuka
mendukung Jusuf Kalla. Dukungan Buya berdasarkan sebuah analisis yang mendalam,
dukungan seorang Negarawan, bukan semata mendopleng popularitas. Buya tidak
butuh popularitas. Lalu akhir-akhir ini Buya juga dekat dengan Jokowi, sosok
yang menyeruak ke publik dan di gadang-gadang menjadi Presiden selanjutnya.
Sama halnya ketika Buya menulis tentang kecendikiawanan
Amien Rais dalam berpolitik, meskipun sempat juga Buya mengkritiknya. Buya
merasa harus merangkul siapapun yang dinilai masih memiliki kepekaan moral
dalam membangun bangsa ini, termasuk tokoh Politik sekalipun.
Di dalam Muhammadiyah, Buya adalah sosok yang mengayomi,
terutama terhadap kader-kader mudanya. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Makna
konferensi riset tentang Muhammadiyah” yang dimuat di Resonansi. Buya secara
spesifik menyebutkan nama tokoh-tokoh muda yang memiliki kualifikasi
intelektual yang memadahi. Sebagai sesepuh, Buya begitu perhatian dengan
regenerasi, bahkan menghafal nama-nama mereka.
Dalam wacana Intelektual, sosok Buya juga tidak lepas dari
kritik, baik dalam internal Muhammadiyah maupun eksternal. Tapi Buya tidak
pernah ambil pusing, ia menghadapi dengan biasa saja. Menurutnya, manusia yang
tertutup oleh pandangan orang lain, adalah manusia fosil. Itulah kata-kata yang
selalu saya ingat. Tidak heran jika kemudian sosok Buya semakin digandrungi
anak-anak mudanya.
Sisi lain yang membuat Buya semaki dikagumi adalah posisinya
sebagai ketua umum PP Muhammadiyah antara tahun 2000-2005. Secara umum, Buya
membagikan pengalamannya memimpin Muhammadiyah ini dalam tiga episode tulisan
yang berjudul “Pengalaman memimpin Muhammadiyah”. Ketiganya dimuat di rubrik
Resonansi Republika.
Buya memimpin Muhammadiyah ketika Organisasi yang didirikan
KH. Ahmad Dahlan ini tengah dalam gejolak kebangsaan yang rumit. Kala itu,
Amien Rais, ketua umum PP Muhammadiyah sebelumnya, mendirikan Partai Politik.
Banyak yang beranggapan jika Muhammadiyah sudah dijadikan alat Politik, dan
Buya harus menangani riak-riak prasangka tersebut. Bukan hal mudah, tapi
sepertinya Buya telah berhasil menjadi nahkoda yang baik, dan tetap
mengemudikan Muhammadiyah di jalan yang lurus.
Saat itu pula, terjadi konfik grassroot yang akut,
terutama setelah turunnya Presiden keempat Abdurahman Wahid. Posisi
Muhammadiyah tidak terlalu menguntungkan, terjadi pergolakan dimana-mana.
Sekolah dan amal usaha Muhammadiyah kerap kali mendapatkan ancaman, bahkan
salah satu sekolah Muhammadiyah di Bondowoso habis di bakar massa yang menjadi
fanatikannya Gus Dur, disinyalir para Gusdurian itu adalah warga NU.
Disaat konflik yang membara itu, Buya Syafii Maarif bisa
bersikap tenang dan lekas menetralkan keadaan, bahkan ia berteman baik dengan
KH. Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat sebagai ketua umum PBNU dan
mendapatkan tawaran untuk memperbaiki amal usaha Muhammadiyah yang dirusak oleh
sebagain massa NU. Tapi Buya menolak dengan alasan jika warga Muhammadiyah bisa
mengatasinya sendiri.
Untuk itu jika membaca seorang Buya, setidaknya ada tiga
karakter yang bisa kita ambil hikmah. Pertama, sebagai tokoh
Muhammadiyah yang tangguh dan mengayomi, terutama ketika menjadi Ketua Umum. Kedua,
sebagai seorang cendekiawan muslim yang visioner. Ketiga, sebagai tokoh
pemersatu bangsa yang terus berkomitmen untuk menjaga keutuhan bumi pertiwi. Ia
terus berdoa agar Indonesia bisa bertahan hingga satu hari sebelum kiamat.
Sebagai kader Muhammadiyah, kita patut berbangga memiliki
tokoh sekaliber Buya. Sosok yang otentik. Pada akhirnya, kita akan mengenal
Buya karena kecendikiawanannya, bukan karena jabatan tinggi yang diraihnya.
Seorang Profesor yang memiliki integritas tinggi, dan seorang sesepuh yang
peduli nasib anak muda, persyarikatan dan bangsanya. Buya akan terus menjadi
inspirasi bagi kader-kadernya, melalui sikap dan tulisan-tulisannya yang kritis
dan menggugah. Wallohu’alam.
Blitar, 11 Februari 2014
Ahmad Fahrizal Aziz
Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC
IMM Malang 2013-2014
Posting Komentar