Namanya
menjadi perbincangan akhir-akhir ini, bukan karena prestasi, melainkan karena
keteledoran penuh sensasi. Salah seorang jamaah yang ikut pengajiannya,
mengabadikan video “kebodohan” Ustad Hariri yang dengan tega dan tragis
menyakiti salah seorang soundman. Ia tak berfikir panjang, ia tahu jika
ia harus menerima “hukuman sosial” diakhibatkan perilaku tak senonohnya itu,
dia lupa kalau orang memanggilnya “Ustad”.
Sebagai
penceramah, prestasi Hariri biasa saja, namanya tak meledak seperti Alm. Ust.
Jefry Al Buchori atau Ust. Solmed. Saya pernah melihatnya beradegan di sebuah
sinetron, jujur saja, saya kira dia artis yang berperan sebagai Ustad. Ternyata
dia seorang penceramah. Ia juga sering diundang ceramah kemana-mana, dalam
hingga luar negeri. Saya pun tak sengaja membaca beritanya ketika membuka situs
liputan6.com, hobi saya memang membuka situs berita online.
Saya
mengamati dengan seksama video “tak senonohnya” itu. Memang sangat memilukan,
seorang Ustad marah di depan para jemaah dan melakukan kekerasan fisik. Di
sejumlah media sosial, banyak yang mengutuki aksinya, wajar saja jika
masyarakat marah, mana mungkin seorang yang dipangil Ustad melakukan hal-hal
yang tidak patut di contoh seperti itu.
Pasca
menyebarnya video tersebut, banyak media membicarakannya, terlebih infotainment.
Ini pula yang membuat saya bingung, bagaimana mungkin seorang ustad masuk infotainment?
Hariri bukan satu-satunya, banyak Ustad “seleb” yang sering di gunjing di
infotainment. Biasanya, infotainment tempatnya menggosipkan para artis, dan
para artis profesinya adalah penghibur. Lantas, kenapa Ustad juga masuk
infotainment, apakah dia juga seorang penghibur?
Media
online yang dengan komprehensip mengupas sosok Hariri adalah Republika.
Republika adalah media Islam terbesar di Indonesia, wajar saja jika Republika
mengupas habis sosoknya, ia seorang penceramah Agama Islam, dan Republika punya
tanggung jawab moral sebagai media Islam. Dari reportase Republika online (ROL),
diketahui ternyata Hariri adalah lulusan UIN Sunan Gunung Jati Bandung serta
mantan aktifis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Dalam
sebuah berita berjudul “Ustaz Hariri, dari aktifis PMII jadi Dai” terposting 13
Februari 2014, 17:50 WIB, Hariri adalah alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi
jurusan Penyiaran Islam, bahkan ia adalah seorang orator ulung saat masih
menjabat sebagai aktifis PMII Kota Bandung. Setelah tamat kuliah, ia memutuskan
untuk menjadi Pendakwah dan kini dikenal sebagai Ustad “Seleb”.
Sebagai
mantan aktifis pergerakan, jalan yang dipilih Hariri memang sangat unik,
rata-rata, para aktifis memilih jalan Politik sebagai “jembatan” karir. Minimal,
menjadi pejabat kampus atau Dosen. Sangat jarang yang memilih menjadi
penceramah “seleb” semisal Hariri. Hariri memilih jalan yang –bagi
aktifis—sangat tidak ideal. Profesi seleb sangat artifisial. Saya menyarankan
agar dia menjadi seleb murni, tidak usah ada embel-embel penceramah.
Kini,
setelah muncul video kekerasan itu, dunia dai semakin tercoreng, infotainment
semakin marak mempertontonkan para penyiar Agama, kata “Ustad” semakin tak
bertaji, level Hariri sebagai penceramah, jadi disamakan dengan puluhan
selebritis yang melakukan hal-hal sensasional. Seorang penceramah di shoot di
infotainment, bahkan jadi bahan gunjingan di acara-acara televisi yang harusnya
di hadiri artis, bukan Ustaz. Saya malu melihatnya.
Jelas
sekali jika kini sudah banyak Ustad “seleb” yang menghiasi layar kaca, mereka
di tunggu bukan karena materi ceramahnya, melainkan karena bisa menghibur.
Materi ceramah yang disampaikan biasa saja, umum, dan banyak sekali di temui di
buku-buku Fiqh atau Aqidah akhlak. Tidak ada yang baru. Mereka –para ustad
seleb—lebih sebagai tontonan daripada tuntunan. Tugasnya menghibur bukan
mendidik. Sebuah gejala yang fatalistik.
Di
satu sisi, figur penceramah yang otentik juga kian berkurang, terlebih tidak
semua penceramah yang otentik itu memiliki kemampuan retorika dan penampilan
yang camera-face. Para dai yang bergelar Profesor, doktor hingga lulusan
Pesantren ternama kadang hanya muncul secara off-air dengan audience
terbatas. Berbeda dengan Ustad “seleb” yang memang “di rekayasa” untuk publik
dan kepentingan komersil.
Pada
akhirnya masyarakat harus semakin cerdas, dan kejadian ini bisa menjadi cermin
bagi kita semua agar bisa membedakan, mana Ustad mana Seleb. Mana yang jadi
tontonan dan mana yang jadi tuntunan, mana hiburan dan mana pendidikan. Sangat
pilu sekali jika Agama hanya dipertontonkan. Wallohu’alam.
Malang, 17 Februari 2014
Ahmad Fahrizal Aziz
Posting Komentar