Assalamualikum, Selamat Datang. Salam Ukhuwah



Agama yang dipertontonkan

Senin, 17 Februari 20140 komentar



Namanya menjadi perbincangan akhir-akhir ini, bukan karena prestasi, melainkan karena keteledoran penuh sensasi. Salah seorang jamaah yang ikut pengajiannya, mengabadikan video “kebodohan” Ustad Hariri yang dengan tega dan tragis menyakiti salah seorang soundman. Ia tak berfikir panjang, ia tahu jika ia harus menerima “hukuman sosial” diakhibatkan perilaku tak senonohnya itu, dia lupa kalau orang memanggilnya “Ustad”.

Sebagai penceramah, prestasi Hariri biasa saja, namanya tak meledak seperti Alm. Ust. Jefry Al Buchori atau Ust. Solmed. Saya pernah melihatnya beradegan di sebuah sinetron, jujur saja, saya kira dia artis yang berperan sebagai Ustad. Ternyata dia seorang penceramah. Ia juga sering diundang ceramah kemana-mana, dalam hingga luar negeri. Saya pun tak sengaja membaca beritanya ketika membuka situs liputan6.com, hobi saya memang membuka situs berita online.

Saya mengamati dengan seksama video “tak senonohnya” itu. Memang sangat memilukan, seorang Ustad marah di depan para jemaah dan melakukan kekerasan fisik. Di sejumlah media sosial, banyak yang mengutuki aksinya, wajar saja jika masyarakat marah, mana mungkin seorang yang dipangil Ustad melakukan hal-hal yang tidak patut di contoh seperti itu.

Pasca menyebarnya video tersebut, banyak media membicarakannya, terlebih infotainment. Ini pula yang membuat saya bingung, bagaimana mungkin seorang ustad masuk infotainment? Hariri bukan satu-satunya, banyak Ustad “seleb” yang sering di gunjing di infotainment. Biasanya, infotainment tempatnya menggosipkan para artis, dan para artis profesinya adalah penghibur. Lantas, kenapa Ustad juga masuk infotainment, apakah dia juga seorang penghibur?

Media online yang dengan komprehensip mengupas sosok Hariri adalah Republika. Republika adalah media Islam terbesar di Indonesia, wajar saja jika Republika mengupas habis sosoknya, ia seorang penceramah Agama Islam, dan Republika punya tanggung jawab moral sebagai media Islam. Dari reportase Republika online (ROL), diketahui ternyata Hariri adalah lulusan UIN Sunan Gunung Jati Bandung serta mantan aktifis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Dalam sebuah berita berjudul “Ustaz Hariri, dari aktifis PMII jadi Dai” terposting 13 Februari 2014, 17:50 WIB, Hariri adalah alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Penyiaran Islam, bahkan ia adalah seorang orator ulung saat masih menjabat sebagai aktifis PMII Kota Bandung. Setelah tamat kuliah, ia memutuskan untuk menjadi Pendakwah dan kini dikenal sebagai Ustad “Seleb”.

Sebagai mantan aktifis pergerakan, jalan yang dipilih Hariri memang sangat unik, rata-rata, para aktifis memilih jalan Politik sebagai “jembatan” karir. Minimal, menjadi pejabat kampus atau Dosen. Sangat jarang yang memilih menjadi penceramah “seleb” semisal Hariri. Hariri memilih jalan yang –bagi aktifis—sangat tidak ideal. Profesi seleb sangat artifisial. Saya menyarankan agar dia menjadi seleb murni, tidak usah ada embel-embel penceramah.

Kini, setelah muncul video kekerasan itu, dunia dai semakin tercoreng, infotainment semakin marak mempertontonkan para penyiar Agama, kata “Ustad” semakin tak bertaji, level Hariri sebagai penceramah, jadi disamakan dengan puluhan selebritis yang melakukan hal-hal sensasional. Seorang penceramah di shoot di infotainment, bahkan jadi bahan gunjingan di acara-acara televisi yang harusnya di hadiri artis, bukan Ustaz. Saya malu melihatnya.

Jelas sekali jika kini sudah banyak Ustad “seleb” yang menghiasi layar kaca, mereka di tunggu bukan karena materi ceramahnya, melainkan karena bisa menghibur. Materi ceramah yang disampaikan biasa saja, umum, dan banyak sekali di temui di buku-buku Fiqh atau Aqidah akhlak. Tidak ada yang baru. Mereka –para ustad seleb—lebih sebagai tontonan daripada tuntunan. Tugasnya menghibur bukan mendidik. Sebuah gejala yang fatalistik.

Di satu sisi, figur penceramah yang otentik juga kian berkurang, terlebih tidak semua penceramah yang otentik itu memiliki kemampuan retorika dan penampilan yang camera-face. Para dai yang bergelar Profesor, doktor hingga lulusan Pesantren ternama kadang hanya muncul secara off-air dengan audience terbatas. Berbeda dengan Ustad “seleb” yang memang “di rekayasa” untuk publik dan kepentingan komersil.

Pada akhirnya masyarakat harus semakin cerdas, dan kejadian ini bisa menjadi cermin bagi kita semua agar bisa membedakan, mana Ustad mana Seleb. Mana yang jadi tontonan dan mana yang jadi tuntunan, mana hiburan dan mana pendidikan. Sangat pilu sekali jika Agama hanya dipertontonkan. Wallohu’alam.


Malang, 17 Februari 2014
Ahmad Fahrizal Aziz
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Segelas Kopi untuk Ikatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger