Sekali
lagi, kita harus berterima kasih kepada Najwa Shihab yang telah berhasil
“membuka” mata bangsa Indonesia di tengah kultur politik yang pengap dan sesak
ini, yang setiap hari hanya disuguhi poster-poster narsisitik para calon
Pemimpin negeri, yang setiap hari hanya disuguhi oleh kelakar logis retorik
para pengumbar janji. Saya tidak membenci mereka, hanya saja, saya seperti
hidup dalam dunia yang utopis, imajinatif, dan eskapistis. Seperti menakar
angan-angan setinggi langit, tapi realitanya begitu semrawut.
Dalam
sebuah wawancara terbuka, disaksikan jutaan pasang mata, ada sosok bernama Tri
Rismaharini yang secara blak-blakan bercerita tentang Surabaya, sebuah
kota besar dengan sejuta problematika. Ada yang menarik dari sosok Tri, ia tak
ada “setelan” Walikota, penampilannya sederhana dan apa adanya, tak ketambahan make
up tebal dan segala pernak pernik yang nampak artifisial. Ibu Tri begitu
natural. Dalam hati saya bergumam “Kok
ada Pemimpin seperti ini?”.
Mengikuti
sekitar 60 menit wawancaranya di acara Mata Najwa, nampak betul jika Tri
Rismaharini adalah seorang Ibu yang sangat menyayangi “anaknya” (baca: Kota
Surabaya). Ia jauh dari cita rasa politisi, baik secara penampilan dan tutur
kata yang diucapkannya, ia lebih mirip sebagai Ibu rumah tangga yang pekerja
keras dan mencoba memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya. Dua kali saya melihatnya
di acara mata Najwa, dua kali pula saya merasa bermimpi “Kok ada Pemimpin
seperti ini?”.
Pasca
wawancara dengan Najwa Shihab tersebut, banyak yang menulis sosok Tri
Rismaharini, baik di koran maupun di media online yang kini menjamur.
Popularitas Ibu Tri kian meroket, meskipun ia tidak pernah melakukan pencitraan.
Untungnya, masih ada Mata Najwa yang berani membuka wacana Jurnalisme
investigatif sekaligus Inspiratif. Ungkapan Ibu Tri itu bisa saja berbahaya
bagi karir politiknya, tapi wawancara itu memberikan banyak informasi baru
serta inspirasi bagi Masyarakat.
Ibu
Tri dengan “perasaan yang terluka” menjelaskan sengkarut permasalahan di Kota
Surabaya, Kota Metropilitan terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah Penduduk
lokal mencapai 3 juta jiwa. Ia “dimusuhi” oleh DPRD, bahkan pernah ada wacana
Interpelasi (pemakzulan) diakhibatkan keputusannya menaikkan pajak Reklame. Ia
memang diusung Partai, tapi agaknya tak benar-benar berfikir jika ia kader
Partai.
Satu
hal yang membuat saya tertegun adalah ketika Ibu Tri berkata seperti ini : Kadang
saya lupa kalau saya walikota, saya ingin angkut sampah ya saya angkut, saya
ingin ngatur lalu lintas ya saya atur, saya hanya ingin memberikan contoh.
Sebenarnya, saya ini sama dengan tukang sapu, saya pelayan masyarakat, saya
bukan walikota dalam artian harus di hormati. Saya mencoba menghilangkan
perasaan rikuh sebagai pejabat.
Mendengar
itu, hati saya berdesir. Lagi-lagi “Kok masih ada Pemimpin seperti ini?” setahu
saya pejabat selevel walikota itu bisa hidup nyaman di kantor yang mewah, di
kawal oleh ajudan yang tegap gagah, diiringi oleh protokoler yang
berlapis-lapis, tapi sosok Tri Rismaharini sangat jauh dari kesan itu. Ia blusukan
kesana-kemari, tanpa ajudan, tanpa pengawalan, dan tanpa merasa rikuh jika ia
adalah seorang Pemimpin sebuah Kota besar nan elit, Pejabat yang siapapun harus
menaruh hormat. Ibu Tri, benar-benar menerabas budaya birokratif yang serba
distingtif.
Mengikuti
secara seksama wawancaranya dengan Najwa Shihab, seperti menonton dua perempuan
yang saling mencurahkan perasaannya dari hati ke hati. Kegelisahan Ibu Tri
tentang nasib Surabaya, tentang nasib rakyat yang dipimpinnya, dan tentang
kesejahteraan warganya. Satu hal yang membuat kita terenyuh pilu, seorang
walikota berhasil menemukan fakta tentang adanya pelacur berusia diatas 60
tahun yang menjadi langganan anak-anak SD dan ia rela dibayar dengan harga
begitu murah ; seribu hingga dua ribu rupiah.
Saya
yang mendengarkannya saja rasanya tercabik-cabik, perih sekali dada ini,
apalagi Ibu Tri yang mengetahuinya langsung. Saya tahu, tangis Ibu Tri itu
tidak mengada-ngada, itu bukan tangisan politisi, melainkan tangisan seorang
Ibu yang sangat mencintai kota asuhannya. Ibu Tri adalah pemimpin yang penuh
kepekaan, Pemimpin yang akan merasa “terluka” ketika terjadi hal-hal yang
menyedihkan pada warganya. Ia rela turun tangan dan berkorban.
Munculnya
orang-orang seperti Ibu Tri ini, menjadi tantangan tersendiri bagi Partai
Politik, terutama Partai yang mengusungnya ; PDIP, yang juga pernah menyetujui
wacana interpelasi. Sepak terjang Ibu Tri secara politik memang susah diatur,
susah dikendalikan, karena ia sendiri berkata “saya tidak paham politik”, tapi
ia Pemimpin otentik yang bergerak dengan hati nurani. Saat seperti inilah
Partai ditantang kedewasaannya. Antara mendukungnya atau membuangnya?
Tapi
jawaban nyata kian hari kian terlihat, salah satunya ketika Ibu Tri tidak
dilibatkan dalam pemilihan wakilnya, sebagai perempuan biasa, tentu Ibu Tri
merasa risau. Maka ketika ada wacana dia hendak mengundurkan diri sebagai wali
kota, hal itu wajar saja, itulah wujud spontan dari rasa gelisah yang selama
ini ia rasakan. Mungkin ia merasa sendiri. Tak diakui eksistensinya dalam
perspektif Politik.
Untung
saja ada Mata Najwa yang berhasil membuka wacana ini, dan kini masyarakat bisa
menimang-nimang lagi, dan secara karir Jurnalistik, ini adalah keberhasilan
Najwa Shihab yang telah berhasil memainkan fungsinya secara obyektif. Agaknya,
teori Yoseph R. Dominick dalam bukunya yang berjudul The Dynamics of mass
communication akan terjadi, dimana media akan memiliki empat peran
strategis : to inform, to educate, to entertain, to influence.
Kini
pergulatan tinggal di depan mata, antara orang yang bergerak dengan hati nurani
dan sekelompok orang yang berjalan penuh tendensi. Siapa yang menang? Saya jadi
teringat kata-kata BJ Habibie “Secepat apapun kebohongan berlari, kebenaran
akan melampauinya”. Di Surabaya masih ada Ibu Tri, walikota sejuta prestasi
yang tak terbang di puji, Perempuan bertangan baja yang memimpin dengan
kelembutan dan kasih sayang.
Saya
tahu, masih banyak pemimpin hebat di negeri ini, termasuk sosok perempuan yang
diangkat di Mata Najwa malam itu. Ibu Tri Rismaharini, semoga saya tidak mimpi.
(*)
Malang, 18 Februari 2014
*Ahmad Fahrizal Aziz
Posting Komentar