Assalamualikum, Selamat Datang. Salam Ukhuwah



Ibu Tri Rismaharini, semoga saya tidak mimpi

Selasa, 18 Februari 20140 komentar



Sekali lagi, kita harus berterima kasih kepada Najwa Shihab yang telah berhasil “membuka” mata bangsa Indonesia di tengah kultur politik yang pengap dan sesak ini, yang setiap hari hanya disuguhi poster-poster narsisitik para calon Pemimpin negeri, yang setiap hari hanya disuguhi oleh kelakar logis retorik para pengumbar janji. Saya tidak membenci mereka, hanya saja, saya seperti hidup dalam dunia yang utopis, imajinatif, dan eskapistis. Seperti menakar angan-angan setinggi langit, tapi realitanya begitu semrawut.


Dalam sebuah wawancara terbuka, disaksikan jutaan pasang mata, ada sosok bernama Tri Rismaharini yang secara blak-blakan bercerita tentang Surabaya, sebuah kota besar dengan sejuta problematika. Ada yang menarik dari sosok Tri, ia tak ada “setelan” Walikota, penampilannya sederhana dan apa adanya, tak ketambahan make up tebal dan segala pernak pernik yang nampak artifisial. Ibu Tri begitu natural. Dalam hati saya bergumam  “Kok ada Pemimpin seperti ini?”.

Mengikuti sekitar 60 menit wawancaranya di acara Mata Najwa, nampak betul jika Tri Rismaharini adalah seorang Ibu yang sangat menyayangi “anaknya” (baca: Kota Surabaya). Ia jauh dari cita rasa politisi, baik secara penampilan dan tutur kata yang diucapkannya, ia lebih mirip sebagai Ibu rumah tangga yang pekerja keras dan mencoba memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya. Dua kali saya melihatnya di acara mata Najwa, dua kali pula saya merasa bermimpi “Kok ada Pemimpin seperti ini?”.

Pasca wawancara dengan Najwa Shihab tersebut, banyak yang menulis sosok Tri Rismaharini, baik di koran maupun di media online yang kini menjamur. Popularitas Ibu Tri kian meroket, meskipun ia tidak pernah melakukan pencitraan. Untungnya, masih ada Mata Najwa yang berani membuka wacana Jurnalisme investigatif sekaligus Inspiratif. Ungkapan Ibu Tri itu bisa saja berbahaya bagi karir politiknya, tapi wawancara itu memberikan banyak informasi baru serta inspirasi bagi Masyarakat.

Ibu Tri dengan “perasaan yang terluka” menjelaskan sengkarut permasalahan di Kota Surabaya, Kota Metropilitan terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah Penduduk lokal mencapai 3 juta jiwa. Ia “dimusuhi” oleh DPRD, bahkan pernah ada wacana Interpelasi (pemakzulan) diakhibatkan keputusannya menaikkan pajak Reklame. Ia memang diusung Partai, tapi agaknya tak benar-benar berfikir jika ia kader Partai.

Satu hal yang membuat saya tertegun adalah ketika Ibu Tri berkata seperti ini : Kadang saya lupa kalau saya walikota, saya ingin angkut sampah ya saya angkut, saya ingin ngatur lalu lintas ya saya atur, saya hanya ingin memberikan contoh. Sebenarnya, saya ini sama dengan tukang sapu, saya pelayan masyarakat, saya bukan walikota dalam artian harus di hormati. Saya mencoba menghilangkan perasaan rikuh sebagai pejabat.

Mendengar itu, hati saya berdesir. Lagi-lagi “Kok masih ada Pemimpin seperti ini?” setahu saya pejabat selevel walikota itu bisa hidup nyaman di kantor yang mewah, di kawal oleh ajudan yang tegap gagah, diiringi oleh protokoler yang berlapis-lapis, tapi sosok Tri Rismaharini sangat jauh dari kesan itu. Ia blusukan kesana-kemari, tanpa ajudan, tanpa pengawalan, dan tanpa merasa rikuh jika ia adalah seorang Pemimpin sebuah Kota besar nan elit, Pejabat yang siapapun harus menaruh hormat. Ibu Tri, benar-benar menerabas budaya birokratif yang serba distingtif.

Mengikuti secara seksama wawancaranya dengan Najwa Shihab, seperti menonton dua perempuan yang saling mencurahkan perasaannya dari hati ke hati. Kegelisahan Ibu Tri tentang nasib Surabaya, tentang nasib rakyat yang dipimpinnya, dan tentang kesejahteraan warganya. Satu hal yang membuat kita terenyuh pilu, seorang walikota berhasil menemukan fakta tentang adanya pelacur berusia diatas 60 tahun yang menjadi langganan anak-anak SD dan ia rela dibayar dengan harga begitu murah ; seribu hingga dua ribu rupiah.

Saya yang mendengarkannya saja rasanya tercabik-cabik, perih sekali dada ini, apalagi Ibu Tri yang mengetahuinya langsung. Saya tahu, tangis Ibu Tri itu tidak mengada-ngada, itu bukan tangisan politisi, melainkan tangisan seorang Ibu yang sangat mencintai kota asuhannya. Ibu Tri adalah pemimpin yang penuh kepekaan, Pemimpin yang akan merasa “terluka” ketika terjadi hal-hal yang menyedihkan pada warganya. Ia rela turun tangan dan berkorban.

Munculnya orang-orang seperti Ibu Tri ini, menjadi tantangan tersendiri bagi Partai Politik, terutama Partai yang mengusungnya ; PDIP, yang juga pernah menyetujui wacana interpelasi. Sepak terjang Ibu Tri secara politik memang susah diatur, susah dikendalikan, karena ia sendiri berkata “saya tidak paham politik”, tapi ia Pemimpin otentik yang bergerak dengan hati nurani. Saat seperti inilah Partai ditantang kedewasaannya. Antara mendukungnya atau membuangnya?

Tapi jawaban nyata kian hari kian terlihat, salah satunya ketika Ibu Tri tidak dilibatkan dalam pemilihan wakilnya, sebagai perempuan biasa, tentu Ibu Tri merasa risau. Maka ketika ada wacana dia hendak mengundurkan diri sebagai wali kota, hal itu wajar saja, itulah wujud spontan dari rasa gelisah yang selama ini ia rasakan. Mungkin ia merasa sendiri. Tak diakui eksistensinya dalam perspektif Politik.

Untung saja ada Mata Najwa yang berhasil membuka wacana ini, dan kini masyarakat bisa menimang-nimang lagi, dan secara karir Jurnalistik, ini adalah keberhasilan Najwa Shihab yang telah berhasil memainkan fungsinya secara obyektif. Agaknya, teori Yoseph R. Dominick dalam bukunya yang berjudul The Dynamics of mass communication akan terjadi, dimana media akan memiliki empat peran strategis : to inform, to educate, to entertain, to influence.

Kini pergulatan tinggal di depan mata, antara orang yang bergerak dengan hati nurani dan sekelompok orang yang berjalan penuh tendensi. Siapa yang menang? Saya jadi teringat kata-kata BJ Habibie “Secepat apapun kebohongan berlari, kebenaran akan melampauinya”. Di Surabaya masih ada Ibu Tri, walikota sejuta prestasi yang tak terbang di puji, Perempuan bertangan baja yang memimpin dengan kelembutan dan kasih sayang.

Saya tahu, masih banyak pemimpin hebat di negeri ini, termasuk sosok perempuan yang diangkat di Mata Najwa malam itu. Ibu Tri Rismaharini, semoga saya tidak mimpi. (*)


Malang, 18 Februari 2014
*Ahmad Fahrizal Aziz
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Segelas Kopi untuk Ikatan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger